SEJARAH
DAN POTENSI WISATA DAERAH BIMA
Bima adalah daerah yang terletak di pulau sumbawa, di provinsi NTB. Bima mempunyai banyak tempat wisata yang tidak kalah bagus dari tempat wisata di pulau-pulau lainnya mengingat Bima dikelilingi oleh lautan yang luas, namun karena tempat di Bima
tidak terlalu di urus dan tidak terlalu terkenal seperti lainnya membuat wisatawan jarang datang ke daerah ini, kalau di lihat dari Budaya dan Sejarah, Bima mempunyai sejarah yang amat terkenal dan Budaya-Budayanya pun masih kental, tidak seperti kota lainnya yang sudah modern sehingga budaya-budayanya sudah hilang sedikit demi sedikit, berbeda dengan Bima, budaya-budayanya pun masih dijunjung tinggi oleh masyarakatnya bahkan masih ada daerah-daerah yang benar-benar kental dengan budayanya seperti di Desa Sambori contohnya, disana masyarakatnya benar-benar kental dengan Adat dan Budaya di jaman dulu, Bima sangat cocok untuk wisatawan yang ingin meneliti dan menikmati budaya-budaya jaman dulu.
tidak terlalu di urus dan tidak terlalu terkenal seperti lainnya membuat wisatawan jarang datang ke daerah ini, kalau di lihat dari Budaya dan Sejarah, Bima mempunyai sejarah yang amat terkenal dan Budaya-Budayanya pun masih kental, tidak seperti kota lainnya yang sudah modern sehingga budaya-budayanya sudah hilang sedikit demi sedikit, berbeda dengan Bima, budaya-budayanya pun masih dijunjung tinggi oleh masyarakatnya bahkan masih ada daerah-daerah yang benar-benar kental dengan budayanya seperti di Desa Sambori contohnya, disana masyarakatnya benar-benar kental dengan Adat dan Budaya di jaman dulu, Bima sangat cocok untuk wisatawan yang ingin meneliti dan menikmati budaya-budaya jaman dulu.
Bima itu Mbojo mengandung makna
bahwa orang-orang yang merasa dilahirkan dan dibesarkan dari peradaban tanah
ini harus bersatu padu membangun daerah tanpa harus dipisahkan oleh sekat-sekat
birokrasi, kepentingan politik maupun wilayah yang telah dimekarkan.
Mbojo adalah sesuatu yang bulat dan utuh yang dihasilkan melalui kesepakatan para Ncuhi sebagai cikal bakal terbentuknya wilayah ini. Dengan Kata lain, bahwa Orang-Orang Mbojo atau Dou Mbojo adalah orang-orang yang bersatu, memegang teguh amanat, ulet dan pekerja keras. Untuk itu lah, Bima itu Mbojo memberikan gugahan makna kebersamaan, persatuan dan kesatuan serta persaudaraan yang kental seluruh elemen di Dana Mbojo. Terpanggil untuk memperkenalkan daerah Bima/ Mbojo kepada Masyarakat Luar dan lebih-lebih kepada Dou Mbojo itu sendiri agar tidak merasa asing akan daerah Bima / Dana Mbojo.
Berikut ini kami coba sajikan secara
acak berbagai Sejarah, Tradisi, Wisata / potensi wisatanya yang kami rangkum
dari berbagai tulisan dan narasumber sebagai berikut :
BENTENG ASA KOTA
Di Pintu masuk Kota Bima, tepatnya
di teluk Bima sebelah utara terdapat sebuah benteng. Masyarakat Bima
menyebutnya dengan Benteng Asa Kota. Karena letaknya tepat di laut sempit yang
menjadi pintu masuk Bima lewat jalur laut.Benteng ini penuh dengan romantika
sejarah.
Bagaimana Sejarah Benteng ini ?
Karena tidak setuju terhadap isi perjanjian Bongaya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin bersama Panglima perang Makassar Karaeng Popo meninggalkan Makassar dan membentuk kekuatan armada angkatan laut Bima. Bagi Abdul Khair Sirajuddin mentaati perjanjian Bongaya sama dengan bunuh diri dan tunduk pada Kompeni.
Selama pelariannya dari Makassar dua
pendekar itu menyerang, merampas dan menenggelamkan kapal-kapal Kompeni karena
kesal atas trik dan siasat adu domba Kompeni yang memaksa iparnya Sultan
Hasanuddin harus menandatangani perjanjian Bongaya yang syarat dengan ketidak
adilan. Di dalam perjanjian tersebut terdapat lima pasal yang berhubungan dengan
Bima. Dan salah satu pasalnya adalah menangkap Abdul Khair Sirajuddin hidup
atau mati.
Benteng ini dibangun pada sekitar
tahun 1667 di sebuah pulau kecil yang diberinama Nisa Soma. Tepat dipintu masuk
teluk Bima yang diberinama ASA KOTA( Asa= Mulut, Kota = Kota). Jadi Asa Kota
merupakan pintu masuk menuju Bima dengan melewati Teluk Bima yang indah, tenang
dan damai. Benteng Asa Kota dibangun dari tumpukkan batu-batu besar dan kecil
yang disusun rapi mengelilingi Nisa Soma seluas lebih dari 1 hektar.
Pembangunan Benteng Asakota
dihajatkan untuk mengintai dan menghalau kapal-kapal Kompeni yang memasuki
wilayah Bima dan merupakan basis pertahanan armada Angkatan Laut kerajaan Bima
yang bernama Pabise. Bila ari laut surut, maka benteng Asa Kota dengan daratan
di sekitarnya terlihat menyatu. Penduduk sekitar sering mendaki bukit di Nisa
Soma ini untuk mencari kayu bakar.
Benteng Asa Kota adalah peninggalan
berarti dari perjalanan sejarah Dana Mbojo dan merupakan salah satu benda cagar
budaya yang dilindungi undang-undang. Benteng ini kondisinya sekarang cukup
memprihatinkan dan membutuhkan renovasi dan rekonstruksi sesuai bentuk aslinya
sebagai sebuah kenangan sejarah untuk generasi mendatang.
ASI MBOJO ( ISTANA BIMA )
Museum
Asi Mbojo (Bima)
Bima-Raba adalah ibu kota kabupaten yang selalu menjadi tempat persinggahan dan menghubungkan daerah timur,tengah dan barat dari Indonesia. Dengan mengunjungi Istana Kesultanan terlebih dahulu kita akan ditunjukkan barang-barang bersejarah yang menarik, seperti mahkota kesultanan dan beberapa keris yang bersarung emas dengan tangkai yang terbuat dari gading.
Bangunan yang dulunya merupakan
pusat Kesultanan Bima dan pusat Pemerintahan Kabupaten Bima pada tahun 1950
masih berdiri dengan kokoh dan tegap yang merupakan symbol Dana Mbojo (Bima),
atau lebih dikenal dengan nama Asi Mbojo. Dan kini oleh Pemerintah setempat
dijadikan sebagai Museum, awal dibangunya Asi Mbojo (Istana Bima) pada tahun
1927 oleh arsitek Belanda yang bernama Obzicshteer Rehata dan sebagiannya juga
di desain oleh sultan sendiri yaitu Muhammad Salahuddin (sulthan Bima yang
terakhir).
Museum Asi mbojo diserahkan kepada
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) oleh Sultan Muhammad Salahuddin pada
tahun 1951, dan tahun 1989 resmi dijadikan Museum oleh pemerintah kabupaten
Bima hingga sekarang. Museum ini di kelola oleh pemerintak Kabupaten Bima dan
di kepalai oleh Bapak Ridwan Maman, S.Ag (40) dengan 24 Pegawainya.
Isi dari beberapa koleksi Museum Asi
Mbojo antara lain Benda-benda Pusaka peninggalan Kerajaan dan kesultanan Bima,
dan yang paling terpopuler dari Koleksi Museum yaitu “Gunti Rante” sebuah
parang yang sangat menakjubkan di ukir pada Zaman Majapahit dan Mahkota Sulthan
yang terbuat dari Emas. Koleksi – koleksi Benda Pusaka, pengunjung Museum dapat
melihatnya di ruangan Galeri Benda Pusaka di lantai satu, di lantai satu juga
terdapat ruangan galeri benda-benda perkakas dan baju-baju peninggalan masyarakat
pada zaman kerajaan dan kesultanan, di lantai satu ini dulu merupakan kantor
pusat pemerintahan Kabupaten Bima 1951 hingga 1960. Bangunan – bangunan di
lantai satu dan dua masih asli dan tidak pernah di Renovasi hingga sekarang.
Bila pengunjung juga ingin melihat
Kamar tempat menginapnya Bung Karno (Ir. Soekarno) pengunjung dapat melihatnya
di lantai 2, di lantai 2 pengunjung juga bisa melihat kamar – kamar Sulthan,
putra Mahkota, dan kamar Putri. Ibu Nurhaini (45) Pegawai Museum yang bertugas untuk
menemani para pengunjung untuk berkeliling kepada kami (Solud) bercerita “
bahwa dulu istana Asi yang pertama pernah di Bom pada masa peperangan sehingga
di bangun Asi Kontu (istana belakang) untuk sementara, dan bangunan Museum saat
ini adalah bangunan Asi yang kedua setelah yang pertama di bom” begitulah yang
diceritakan oleh ibu Nurhaini.
Bila ingin berkunjung ke Museum Asi
Mbojo pasti tidaklah sulit menemukannya, karena letaknya yang strategis pas di
sebelah alun-alun Kota Bima, karcis untuk masukpun sangat murah untuk Dewasa
atau Umum hanya Rp. 2000, anak- anak Rp. 500, Turis Rp. 3000, dan Pelajar dan
Mahasiswa Rp. 1000.
Menurut kepercayaan Masyarakat Bima
bahwa Museum Asi Mbojo masih memiliki Aura mistisnya, banyak kejadian-kejadian
aneh dan hal-hal gaib yang terjadi di Museum ini, karena Asi (Istana) masih
dijaga oleh para leluhur. Karakter bangunan Museum Asi Mbojo dalam pandangan
Masyarakat Bima pada umumnya sangat Religius, dulu merupakan tempat semua
masyarakat belajar Islam pada zaman Kesultanan Bima.
DESA DONGGO
Donggo, dengan jarak 40 Km adalah
desa tertua di Bima, penduduk desa ini memiliki pakaian dan tradisi yang
berbeda dari desa-desa lainnya. Mereka memelihara tradisi etnik uniknya dengan
selalu memakai pakaian hitam, masih mempertahankan tingkatan hierarkinya dan
membangun rumah tradisional mereka sendiri.
Donggo adalah sebuah Desa yang terletak di atas pegunungan Soromandi sebelah barat Kota Bima dengan ketinggian 1200 Meter, Donggo mempunyai keistimewaan dari Desa lain yang berada di Bima yaitu berbagai macam legenda rakyat dan tempat-tempat peninggalan sejarah berada di Donggo, salah satu Legenda rakyat yang terkenal yaitu kisah Putri La Hila.
Donggo adalah sebuah Desa yang terletak di atas pegunungan Soromandi sebelah barat Kota Bima dengan ketinggian 1200 Meter, Donggo mempunyai keistimewaan dari Desa lain yang berada di Bima yaitu berbagai macam legenda rakyat dan tempat-tempat peninggalan sejarah berada di Donggo, salah satu Legenda rakyat yang terkenal yaitu kisah Putri La Hila.
La Hila adalah nama Putri cantik
anak dari raja Donggo dahulu kala, La Hila mempunyai rambut sepanjang 7 buah
bambu dan paras cantiknya sangat menggoda para Raja yang melihatnya, kejadian
yang melegenda dari La Hila yaitu dia dikubur hidup-hidup karena dia tidak
ingin menerima lamaran dari salah satu Raja Bima, setelah kuburannya di buka
ternyata jasad La Hila telah hilang, hingga sekarang masyarakat Donggo
mempercayai bahwa La Hila sering menampakkan diri dengan wujud wanita cantik.
Di Donggo masyarakatnya masih
menjada adat istiadat leluhurnya sehingga masih terdapat rumah yang dulunya
bertempat tinggal kepala suku atau di sebut Ncuhi Donggo yang terdapat di
Donggo Mbawa, ada dua agama yang dianut oleh masyarakat Donggo yaitu Kristen
Katolik dan Islam, penganut agama Katolik di Donggo yang uniknya yaitu mereka
memakai nama Islam akan tetapi agamanya Katolik.
Ada cerita rakyat yang menarik lagi
di Donggo yaitu dahulu kala sebelum terbentuknya kerajaan Bima, Raja dari Pulau
Jawa yang dulu pernah berjanji akan mengirim anaknya untuk memimpin tanah Mbojo
(sebutan tanah Bima dahulu kala), sang Raja mengirim kedua anaknya ke Bima
dengan sebatang bambu, kemudian di pinggir pantai Donggo hiduplah sepasang
suami istri yang sudah tua renta dan belum mempunyai anak, tiap malamnya mereka
berdua mendengarkan bunyi gendang yang sangat besar, dan mereka berdua pun
memeriksa dari mana asal suara gendang tersebut tetapi mereka tidak menemukan
sumber suara tersebut.
Ke esokkan harinya Ompu (panggilan
sang suami) pergi kepinggir laut untuk mencari kayu bakar, dan dia menemukan
sebatang Bambu kemudian Ompu mengambilnya membawa pulang kerumahnya, malam
harinya suara gendang tersebut masih ada Ompu beserta istrinya sangat penasaran
dari mana suara gendang tersebut. Pagi harinya Ompu akan membelah kayu yang dia
kumpulkan dengan sebuah kapak, kemudian pas Ompu ingin memotong Bambu yang dia
temukan di pinggir pantai, mengeluarkan suara yang melarang memotong bambu
tersebut dan keluarlah dua pangeran bersaudara dari Bambu tersebut yang
merupakan anak dari Raja Pulau Jawa yang datang untuk memimpin Bima seperti
yang dijanjikan. Kemudian salah satu saudara tertua dari kedua bersaudara itu
menjadi Raja Bima yang bernama Indra Zambrud yang menjadi asal usul Raja-raja
Bima.(Fahrurizki)
PANTAI LAWATA
Pantai Lawata adalah berupa sebuah
“tonjolan” ke teluk Bima. Di Lawata terdapat sebuah bukit kecil yang memiliki
beberapa buah gua kecil.Lawata memang sudah sejak dulu menjadi sebuah obyek
wisata atau tempat piknik bagi masyarakat Bima.
Lawata terletak hampir di luar kota
Bima. Pantainya bukanlah tempat yang bagus untuk bermain air, namun air
(laut)nya bisa dibilang cukup jernih walaupun kadang berlumpur dan banyak batu-batu
yang berserakan. Karena historinya, Lawata kemudiandibangundibuatkan banyak
“cottage” yang berderet di sepanjang pantainya. Setiap cottage memiliki bagian
“ dalam yang bisa digunakan untuk lesehan, bagian luar/depan yang bisa
digunakan untuk memandang ke arah laut/teluk, dan tempat berbeque di sebelah
luar/belakang. Tampaknya, setiap cottage cukup untuk sebuah keluarga atau
rombongan yang lebih dari 10 orang.
M O N T A
Kecamatan Monta terdiri dari
beberapa desa yakni : baralau, monta, sakuru, tangga, sie, simpasai, pela dan
waro. Sebelum menggalami penggembangan wilayah kec.parado termasuk kedalam
kec.monta.Umumnya masyarakat dikecamatan ini mengantungkan mata pencahriannya
pada sektor pertanain khusunya bawang.
Masyarakat Monta juga mulai membudi
dayakan Kacang Koro yang dinilai mempunyai kualitas Ekspor keluar negeri yang
sangat menjanjikan, budi daya kacang koro ini dinilai suatu perubahan tradisi
menanam masyarakat setempat dari Padi dan Bawang, untuk mencoba menanam kacang
koro di area tanah mereka.
Kecamatan Monta sebenarnya memiliki
potensi pariwisata untuk dikembangkan karena prospeknya sangat menjanjikan
seperti Pantai wane yang menjanjikan potensi pemandangan laut yang begitu indah
dan alami dengan ombaknya yang besar sangat cocok untuk tempat berselancar.
SOROMANDI
Wisata Alam Soromandi
Bima adalah salah satu kota kecil yang
terletak di ujung timur Propinsi NTB (Nusa Tenggara Barat), di bumi Ngaha Aina
Ngoho ini tersimpan banyak sekali aset-aset alam yang menyimpan sejuta pesona
yang masih belum terjamah, dan perlu untuk di gali dan dijadikan sebagai objek
wisata.
Aset alam ini bisa dijadikan sebagai daya tarik para wisatawan domestik maupun asing. Gambar ini ambil dari hasil jepretan komunitas pecinta alam bima "KOPA MBOJO" (untuk komunitas kopa mbojo maaf sudah mengambil hasil jepretan anda tanpa ijin, tujuan kita hanya semata memperkenalkan Dana Mbojo / bumi Ngaha Aina ngoho yang kita cintai.
Aset alam ini bisa dijadikan sebagai daya tarik para wisatawan domestik maupun asing. Gambar ini ambil dari hasil jepretan komunitas pecinta alam bima "KOPA MBOJO" (untuk komunitas kopa mbojo maaf sudah mengambil hasil jepretan anda tanpa ijin, tujuan kita hanya semata memperkenalkan Dana Mbojo / bumi Ngaha Aina ngoho yang kita cintai.
DESA CAMPA
Campa adalah salah satu desa kecil
yang letaknya di kabupaten Bima, NTB, khususnya di kecamatan Madapangga.
Letaknya memang jauh dari keramaian, tetapi campa juga menyimpan keindahan alam yang mungkin banyak orang yang belum tahu akan hal ini.
Contohnya seperti wana wisata OI TABA, kalo yang ini mungkin sudah banyak yang tahu, tetapi ada satu tempat yang belum orang tahu letaknya yaitu AIR TERJUN, kalau dilihat air terjun ini bisa dikelola untuk dijadikan sebagai wahana wisata dan bentuk wahana wisata ini adalah semacam tempat meluncur tapi bedanya tempat meluncur terbentuk oleh alam, jadi suasananya sangat extrim dan alami.
Letaknya memang jauh dari keramaian, tetapi campa juga menyimpan keindahan alam yang mungkin banyak orang yang belum tahu akan hal ini.
Contohnya seperti wana wisata OI TABA, kalo yang ini mungkin sudah banyak yang tahu, tetapi ada satu tempat yang belum orang tahu letaknya yaitu AIR TERJUN, kalau dilihat air terjun ini bisa dikelola untuk dijadikan sebagai wahana wisata dan bentuk wahana wisata ini adalah semacam tempat meluncur tapi bedanya tempat meluncur terbentuk oleh alam, jadi suasananya sangat extrim dan alami.
PANTAI KALAKI
Pantai Kalaki adalah pantai berpasir
yang cukup landai, terletak di sebelah selatan kota Bima. Dari kota Bima,
melewati Lawata menuju ke arah Lapangan Terbang Palibelo. Di Kalaki, pengunjung
bisa bermain air laut yang dangkal, atau piknik sambil menikmati pemandangan
laut teluk Bima. Pengunjung Pantai Kalaki umumnya berasal dari kota Bima dan
dari kecamatan Woha dan Belo/Palibelo.
Pada waktu liburan seperti saat Aru Raja (Lebaran), pantai Kalaki ramai sekali. Para pedagang jauh-jauh hari sudah mendirikan tenda-tenda di pinggir jalan sepanjang pantai. Sebenarnya, pantai Kalaki tidaklah terlalu bagus. Pasirnya bercampur lumpur sehingga kalau dilalui akan menjadi keruh. Di samping itu terdapat banyak batu-batu yang cukup tajam jika diinjak, dan tentu sangat tidak nyaman karena bisa menyandung. Pantai juga terlalu landai sehingga untuk mendapatkan kedalaman yang cukup untuk berenang atau menyelam, pengunjung harus masuk jauh ke dalam laut.
Pada waktu liburan seperti saat Aru Raja (Lebaran), pantai Kalaki ramai sekali. Para pedagang jauh-jauh hari sudah mendirikan tenda-tenda di pinggir jalan sepanjang pantai. Sebenarnya, pantai Kalaki tidaklah terlalu bagus. Pasirnya bercampur lumpur sehingga kalau dilalui akan menjadi keruh. Di samping itu terdapat banyak batu-batu yang cukup tajam jika diinjak, dan tentu sangat tidak nyaman karena bisa menyandung. Pantai juga terlalu landai sehingga untuk mendapatkan kedalaman yang cukup untuk berenang atau menyelam, pengunjung harus masuk jauh ke dalam laut.
Jika air laut surut, pemandangan
menjadi tidak sedap lagi karena air menjadi sangat jauh ke dalam sementara
daratan yang ditinggalkannya tampak penuh batu yang berserakan. Pemda Kabupaten
Bima yang menjadi “pemilik” pantai Kalaki tampak sudah melakukan beberapa
“pembangunan” di pantai tersebut, berupa beberapa shelter yang bisa digunakan
oleh pengunjung untuk berteduh dan duduk-duduk. Namun jumlahnya tentu tidak
mencukupi saat pengunjung ramai seperti ketika Aru Raja. Pengunjung akhirnya
menggelar tikar dan berkelompok di kebun orang di seberang pantai. Mereka
umumnya mengadakan acara berbeque atau “bakar-bakar” di tempat itu. Biasanya,
yang dibakar adalah ayam dan ikan laut. Pantai Kalaki, sekali lagi, menjadi
pilihan masyarakat untuk piknik karena tidak banyak pilihan yang lebih baik
lagi. Pantai di teluk Waworada (sebelah timur Karumbu) yang lebih indah dengan
view pantai selatan sangat jauh dan fasilitas jalan juga belum memadai. Dalam
hal ini, Pemda Kabupaten Bima masih harus berperan lagi dalam menata obyek
wisata yang dibutuhkan oleh masyarakat
Kegiatan Festival Teluk
Bima 2011 dipusatkan di pantai wisata Kalaki
Kalaki Kabupaten Bima minggu (24/7).
Warga kota Bima maupun kabupaten Bima berjubel mengunjungi areal wisata itu
untuk menyaksikan berbagai mata lomba yang digelar di event yang baru pertama
kali dilaksanakan di Bima itu. Sejak pukul 8 pagi areal pantai kalaki mulai
ramai dikunjungi warga untuk berwisata sekaligus menyaksikan festival Teluk
Bima.
M. Irfan dari bima Kreatif selaku
panitia pelaksana mengemukakan bawhwa festival Teluk Bima merupakan salah satu
upaya untuk mempromosikan pariwisata Bima sekaligus mendukung program Visit
Lombok and Sumbawa 2012. “ kegiatan-kegiatan yang kita lakukan antara lain
pawai budaya, lomba dayung tradisional dari pantai Lawata menuju Kalaki, lomba
perahu hias, lomba mendongeng untuk para pelajar, lomba menangkap bebek,
pagelaran kesenian, serta penganan ikan sepanjang 1 KM.” urai Irfan di
celah-celah kegiatan festival.
Sementara itu, Kepala Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima H. Nurdin, SH menyambut baik kegiatan
festival yang digagas Forum Bima Kreatif bekerja sama dengan Dinas Budpar,
Dinas Kelautan Dan
Perikanan, Basarnas,
Perhubungan,Kepolisian dan Instansi terkait lainnya. “Kita berharap event ini
akan terus menjadi agenda tahunan untuk kita benahi pelaksanaannya kedepan. “
Harap Nurdin.
Kegiatan itu cukup menyedot
perhatian masyrakat baik di kota maupun Kabupaten Bima.Kegiatan festival
berakhir hingga menjelang magrib dengan agenda terakhir penarikan Door prize
dari panitia.
OI WOBO, DESA MARIA
KECAMATAN WAWO
Obyek wisata yang satu ini merupakan
obyek wisata alam sekaligus sejarah. Karena tempat ini juga di kenal dengan
pesanggarahan (Tempat Peristirahatan) para pejabat Belanda dan dibangun pada
masa kolonial. Jaraknya hanya sekitar 20 menit perjalanan dari Kota Raba-Bima.
Suasana sejuk dengan jernihnya air dari kolam renang yang merupakan ciri khas obyek wisata ini. Oi Wobo terletak di desa Maria kecamatan Wawo.
Setiap akhir pekan Oi Wobo selalu dikunjungi wisatawan domestik. Obyek wisata ini sering pula digunakan oleh Jajaran Pemerintah Kabupaten Bima untuk rapat dan menggelar berbagai kegiatan.
Suasana sejuk dengan jernihnya air dari kolam renang yang merupakan ciri khas obyek wisata ini. Oi Wobo terletak di desa Maria kecamatan Wawo.
Setiap akhir pekan Oi Wobo selalu dikunjungi wisatawan domestik. Obyek wisata ini sering pula digunakan oleh Jajaran Pemerintah Kabupaten Bima untuk rapat dan menggelar berbagai kegiatan.
Menurut Legenda, adanya mata air
Wobo ini berawal dari keinginan Putera Mahkota Kerajaan Bima untuk melakukan
perjalanan dan petualangan ke arah Matahari Terbit. Ketika di tengah hutan
mereka kelaparan dan kehausan. Sementara bekal mereka sudah habis. Akhirnya
Putera Mahkota mengeluarkan tongkatnya dan Wobo (Bima : Cambuk). Putera Mahkota
memukul bebatuan di sekitar hutan itu, maka keluarlah mata air dari celah
bebatuan. Alangkah girangnya semua pengikut Putera Mahkota itu. Mereka meminum
sepuas-puuasnya.
Pada perkembangan selanjutnya mata
air itu mengalir menuju ke segala lini. Masyarakat mendekati tempat itu dan
mendirikan perkambungan yang hingga saat ini dikenal dengan Rasa Wawo ( Kampung
Atas). Karena lokasinya memang di daerah pegunungan dengan cuaca yang dingin
dan sejuk. Pada masa kolonial di sekitar mata air ini dibangun sebuah tempat
peristirahatan yang dikenal dengan Pesanggarahan. Di Bima ada dua bangunan
bersejarah yang dibangun semacam ini, yaitu di Wawo dan Donggo. Keduanya memang
berada di daerah pegungungan yang dingin dan sejuk.
Pesanggrahan dan Kolam Renang Oi
Wobo adalah salah satu situs sejarah dan sumber PAD bagi Pemerintah Daerah
Kabupaten Bima. Biaya masuk ke lokasi ini sebesar Rp.5000 untuk kendaraan roda
4 dan Rp.1000 per orang. Perlu penataan dan pengelolaan yang lebih professional
dalam rangka memanfaatkan obyek wisata ini demi meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah.
S A M B O R I
Sambori merupakan salah satu dari
lima desa di lereng gunung Lambitu di sebelah tenggara kota Bima.
Ada dua fersi tentang nama Sambori. Fersi pertama mengemukakan asal mula kata Sambori adalah SAMBORE (Palu), yang berarti adanya ketetapan hati dan keputusan untuk tetap tinggal di lereng Lambitu dan tidak lagi berpindah-pindah. Hal itu didasari kespekatan bersama dalam satu musyawarah sehingga jatuhlah Sambore(Palu) kesepakatan itu.
Fersi kedua, Sambori berasal dari kata SAMPORI yang dalam bahasa Bima berarti melepaskan diri. Karena setelah membangun pemukiman dan menemukan cara bercocok tanam yang menetap dengan kondisi lereng Lambitu yang subur, mereka memutuskan untuk melepaskan diri dari komunitas lainnya.
Ada dua fersi tentang nama Sambori. Fersi pertama mengemukakan asal mula kata Sambori adalah SAMBORE (Palu), yang berarti adanya ketetapan hati dan keputusan untuk tetap tinggal di lereng Lambitu dan tidak lagi berpindah-pindah. Hal itu didasari kespekatan bersama dalam satu musyawarah sehingga jatuhlah Sambore(Palu) kesepakatan itu.
Fersi kedua, Sambori berasal dari kata SAMPORI yang dalam bahasa Bima berarti melepaskan diri. Karena setelah membangun pemukiman dan menemukan cara bercocok tanam yang menetap dengan kondisi lereng Lambitu yang subur, mereka memutuskan untuk melepaskan diri dari komunitas lainnya.
Sebelum pemekaran kecamatan pada
tahun 2006, Sambori dan sekitarnya masuk dalam wilayah kecamatan Wawo.
Orang-orang Bima sering menyebut dengan nama Wawo Tengah. Sambori dan desa-desa
di sekitarnya terletak di ketinggian 700 Meter di atas permukaan laut.
Memandang Sambori dari kejauhan seperti negeri yang menggantung menyelinap
dalam awan dan kabut. Dibalut keluguan dan keramahan warganya, Sambori adalah
pelepas rindu akan nyanyian alam yang syahdu bersahaja.
Desa Sambori berbatasan dengan Desa
Renda kecamatan Belo Kabupaten Bima di sebelah barat,dan hutan tutupan Arambolo
di sebelah timur. Di sebelah utara berbatasan dengan desa Teta sebagai ibukota
kecamatan Lambitu, dan di sebelah utara bersebelahan dengan desa Kawuwu
kecamatan Langgudu. Desa Sambori terdiri dari dua dusun yaitu Dusun Lambitu
yang dihuni 222 Kepala Keluarga dan Sambori Bawah (Dusun Lengge) yang dihuni
930 Jiwa serta 223 Kepala Keluarga.
Sebagai daerah puncak yang berjarak
sekitar 44,3 KM, Sambori potensial untuk pengembangan tanaman Bawang Putih,
Jeruk , Alphokat, Rambutan, Mangga, Pisang, Sawo, Jambu Batu serta tanaman
lainnya.Di lereng Sambori terdapat 275 pohon Jeruk, 300 pohon Alpukat, 450
pohon Mangga, 300 pohon kelapa, 200 pohon pinang serta aneka pepohonan lainnya.
Di sector peternakan, kawasan
Sambori sejak dulu memang telah dikenal sebagai areal pengembalan ternak
seperti kuda, kerba, Sapi dan Unggas. Namun yang paling dominan digeluti warga
Sambori dan sekitarnya adalah tanaman padi dan Bawang Putih serta ternak
Kerbau, Sapi, kambing dan jenis unggas. Berternak memang telah menjadi tradisi
turun temurun warga Sambori dan sekitarnya. Hal itu dibuktikan dengan prototype
Uma Lengge yang di lantai dasarnya memang diperuntukkan untuk penyimpanan dan
pemeliharaan ternak.
Desa Sambori memiliki luas sekitar
1.802 Ha atau sekitar 33,58 % dari luas wilayah kecamatan Lambitu. Sekitar
1.260 Ha adalah lahan Sawah dan tegalan.Sisanya diperuntukkan untuk pemukiman
dan prasarana umum, perkebunan rakyat dan kawasan lindung seluas 736
Ha.Topografi wilayah Sambori dan sekitarnya berbukit-bukit dan datar yang
menyebar di sepanjang lereng Gunung Lambitu. Suhu udara di Sambori rata-rata
antara 20 hingga 25 C.
Berdasarkan Sensus Penduduk dari
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bima Tahun 2010, Jumlah penduduk desa Sambori
sebanyak 1786 jiwa dengan jumlah penduduk Laki-laki sebanyak 895 jiwa dan
penduduk perempuan sebanyak 891 Jiwa. Jumlah kepala keluarga sebanyak 440 KK
yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan peternak.
Ladang Pengembangan Apotik Hidup
Berada di ketinggian 500 sampai 700
Meter Di atas permukaan Laut, Sambori dan Sekitarnya sangat cocok untuk
budidaya tanaman-tanaman obat seperti Jahe, Kunyit, Lengkuas, Mengkudu,
Temulawak, Kumis Kucing, Kencur, Bangle, Tempuyang dan lain-lain. Tanaman ini
disamping tumbuh secara liar di pegunungan Lambitu, juga diupayakan dan
dikembangkbiakkan oleh masyarakat. Yang paling banyak dikembangkan warga
disamping bawang putih dan padi adalah Kunyit dan Tempuyang.
Sejak dulu, orang-orang Sambori
memang terkenal sebagai penjual Kunyit dan Tempuyang bahkan sampai di kota Bima
dan Dompu. Sekitar 20 Hektar lahan tegalan di Sambori dimanfaatkan warga untuk
menanam kunyit. Ada juga sekitar 7 Hektar lahan yang dimanfaatkan untuk menanam
Tempuyang. Proses produksi dan pemasaran warga Sambori terhadap tanaman obat
ini masih sangat sederhana dan tradisional yaitu dengan menjajakan dari kampung
ke kampung, disamping dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi.(*alan)
RUMPUT LAUT
Budidaya Rumput Laut disamping untuk
kesejahteraan masyarakat bisa juga berpotensi untuk tujuan wisata. Budidaya
rumput laut ini dikembangkan Di Kecamatan Sape, Lambu, Langgudu dan Wera dengan
rata-rata produksi per tahun mencapai 171 Ton. Pengolahan yang baik dapat
meningkatkan produksi. Budidaya rumput laut akan tetap dikembangkan guna menjawab
tantangan pasar yang permintaannya terus mengalami peningkatan setiap tahun.
Potensi pesisir yang cocok untuk rumput laut merupakan peluang untuk terus
meningkatkan produksi rumput laut di Kabupaten Bima guna memenuhi permintaan
ekspor yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di Kota Bima juga
terdapat areal pembudidayaan Rumput Laut yang dalam Bahasa Bima disebut KAHAO.
Lokasinya adalah di sekitar pantai So Nggela, Bonto hingaa Toro Rui Londe di
kecamatan Asa Kota.
KOPA AHE DI
TENTE
Bagi warga Bima, Menu Kopa Sahe
merupakan salah satu menu pilihan untuk berbuka puasa. Yah, Kopa Sahe hanya
dikenal di desa Tente kabupaten Bima. Seperti apa menu makanan khas Bima yang
satu ini ? Berikut, Kru Sarangge melaporkan untuk anda.
Desa Tente kecamatan Woha Kabupaten
Bima sudah lama dikenal sebagai urat nadinya perekonomian di daerah ini. Bisa
dikatakan Tente merupakan pusat perdagangan dan perbelanjaan masyarakat dari
berbagai pelosok pedalaman di kabupaten Bima seperti dari Langgudu, Parado, Monta,
Belo dan Palibelo.
Disamping itu, di desa ini juga terdapat satu tempat pemotongan hewan yang dikenal dengan BANTE. Pemotongan hewan seperti kerbau, Sapi dan Kambing dilakukan setiap hari.
Disamping itu, di desa ini juga terdapat satu tempat pemotongan hewan yang dikenal dengan BANTE. Pemotongan hewan seperti kerbau, Sapi dan Kambing dilakukan setiap hari.
Ada satu makanan khas dari desa ini
yaitu Soto Kaki Kerbau atau yang dikenal dengan Kopa Sahe. Ini adalah salah
satu produk andalan Desa Tente yang cukup banyak digemari oleh berbagai
kalangan, baik orang Bima sendiri maupun orang luar Bima. Kopa Sahe merupakan
makanan yang berbahan dasar dari kaki kerbau. Kaki Kerbau diolah dan dimasak
dengan bumbu yang telah di tentukan jenis dan porsinya. Salah satu pedagang
Kopa Sahe Rohana Ahmad yang telah lama melakoni profesi ini mengatakan Kopa
Sahe cukup diminati. Kisaran hasil yang diperolehnya setiap hari adalah 300-400
ribu rupiah. Namun menurutnya hasil tersebut belum mampu digunakan untuk modal
mengembangkan usahanya tersebut. Harapnya Pihak Pemerintah memperhatikan
pedagang-pedagang kecil agar dapat mengoptimalkan pemanfaatan prodak daerah
sehingga kian diminati dan dilirik khalayak ramai.
Hanya saja, penjualan dan pemasaran
makanan ini masih dilakukan secara tradisional dengan dijajakan dari kampung ke
kampung. Belum ada satupun pedagang Kopa Sahe yang menjual di di depan jalan
utama Tente atau di warung-warung di pasar Tente. Justru yang banyak dijumpai
di depan jalan-jalan utama Tente adalah warung dan rombong Bakso, Nasi campur
dan soto serta Sate Kambing. Ini tentunya menjadi PR bersama untuk mendorong
para pedagang Kopa Sahe menjual makanan ini di depan jalan-jalan utama Tente
agar mudah dilihat dan dikunjungi daripada berada di dalam kampung seperti yang
dilakukan selama ini.
Desa Tente letaknya tidak jauh dari
Bandar Udara Muhammad Salahuddin Bima. Jika menggunakan kendaraan bermotor
cukup menghabiskan waktu sektar 10 menit. Secara geografis desa ini berdaratan
rendah dan diapit oleh sawah. Sebalah Selatan berbatasan dengan Desa Naru,
sebelah Utara berbatasan dengan Rabakodo, Sebelah Barat berbatasan dengan
Samili dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cenggu Kecamatan Belo.
Baru-baru ini Tente dimekarkan menjadi dua bagian yaitu desa Nisa dan desa
Naru. Dengan jumlah penduduk sebanyak 3.383 orang dan 878 Kepala Keluarga,
sumber mata pencaharian masyarakat Desa Tente beragam, diantaranya pedagang,
petani, pelaut dan PNS.
DESA SAMBORI
Rumah Solud – Desa Sambori adalah
sebuah desa yang berada di atas dataran tinggi pegunungan Lambitu dan termasuk
wilayah Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima, Desa Sambori hanyalah sebuah Desa
yang sangat kecil dengan kehidupan yang masih tergolong Tradisional. Masyarakat
Sambori rata-rata bekerja sebagai Petani dengan penduduk 800 jiwa ± dan di
kepalai oleh seorang Kepala Desa, mereka bercocok tanam sejak zaman nenek
moyang mereka berada.
Jarak Desa Sambori dari Bima hanya 400 KM, tetapi sekarang kendaraan tidak lagi susah untuk ke Sambori karena pemerintah setempat sudah membuat jalan yang baru dan di Aspal.
Jarak Desa Sambori dari Bima hanya 400 KM, tetapi sekarang kendaraan tidak lagi susah untuk ke Sambori karena pemerintah setempat sudah membuat jalan yang baru dan di Aspal.
Kebiasaan masyarakat Sambori yaitu makan daun sirih karena suhu dan udara di Desa sambori sangat dingin sehingga untuk menghilangkan kedinginan, mereka makan daun sirih yang di campur dengan beberapa ramuan sehingga badan mereka jadi hangat. Ada satu keunikan dari masyarakat Desa Sambori yaitu mereka masih mempergunakan bahasa yang lain dari bahasa Bima dan sekitarnya, banyak orang mempunyai anggapan dan persepsi masing-asing bahwa bahasa Sambori adalah bahasa asli Suku Bima atau bahasa nenek moyang, yang hingga sekarang masih dipergunakan oleh masyarakat Desa Sambori.
Kehidupan masyarakat Desa Sambori
sangat sederhana, iu tampak dari bentuk dan perabotan yang ada dirumah mereka,
Masyarakat Desa Sambori bisa dibilang masih tergolong terbelakang mengenai
Tekhnologi maupun perkakas untuk keseharian mereka yang berkembang disaat ini,
hingga mereka banyak yang masih menggunakan peralatan dan perkakas yang masih
Tradisional, Panci untuk masak mereka masih menggunakan panci yang terbuat dari
tanah liat, dan yang lebih menarik lagi di Sambori bila hujan turun mereka
tidak menggunakan payung pada umumnya, akan tetapi mereka menggunakan sebuah
kulit pohon atau daun Pandan maupun Rotan yang di buat untuk menjadi payung,
masyarakat setempat menyebutnya “WAKU” dan orang Bima mengenalnya dengan nama
“LUPE”.
Masyarakat Desa Sambori Banyak yang
memeluk Agama Islam, karena ada sebuah cerita sejarah lama yang diyakini oleh
Masyarakat Sambori yaitu sejak berdirinya Kerajaan Bima, Islam pertama kali
masuk di Kerajaan Bima melalui dataran tinggi yaitu di Sambori oleh seorang
Ulama dari Ternate yang bernama “Syekh Subuh”, karena Beliau tiba di Sambori
saat Subuh, kemudian Syekh Subuh menyiarkan ajaran Islam di Sambori, makam
Syekh Subuh berada di atas Puncak Gunung Sambori, atau di sebut kuburan
keramat.
RUMAH LENGGE
DI WAWO
Dari kejauhan tampak sebuah gubuk
yang meruncing segitiga yang terlihat banyak yang atapnya terbuat dari jerami,
itulah Rumah Lengge, rumah tradisional masyarakat Wawo yang mempunyai gaya
arsitek yang unik , dengan bahan bangunannya kayu dan bambu beratapkan jerami.
Dan Rumah Lengge merupakan rumah asli Pribumi suku Mbojo (Bima).
Ternyata rumah Lengge ini berdiri
diatas batu kali sebagai dasar rumah, yg hanya empat kaki tanpa semen, rumah
lengge ini hanya memakai paku yang terbuat dari kayu dan yang lebih menarik
lagi untuk mengikat bambunya tali yang terbuat dari kulit pohon. Rumah Lengge
ini juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi di atasnya dan ruang tidur
dibawah yang mirip saung yang berukuran atau luasnya hanya 8×4 meter.
Rumah Lengge ini ternyata juga rumah
anti tikus, dimana tikus maupun kucing tidak dapat masuk dirumah Lengge karena
dasar batu rumah dan tiang-tiangnya mempunyai siku yang berbentul huruf L
sehingga tikus maupun binatang merayap lainya susah untuk masuk kerumah Lengge.
Masyarakat di desa Wawo saat sekarang
masih menggunakan rumah Lengge sebagai tempat penyimpanan Padi ataupun hasil
pertanian mereka. Di Wawo tepatnya di Desa Maria masih berjejer rumah Lengge
dan Jompa (rumah yang serupa dengan Lengge), dan dijadikan tempat untuk
kunjungan wisatawan yang ingin melihat rumah Lengge dan kehidupan tradisional
masyarakat setempat
KADODO DARI DESA NUNGGI
WERA
Dodol
atau yang dalam bahasa Bimanya disebut Kadodo telah dilakukan secara turun
temurun oleh masyarakat Bima sejak nenek moyang.
Di Bima makanan ini telah secara turun temurun dibuat oleh masyarakat di kecamatan Wera. Meskipun pembuatan Dodol semacam ini juga banyak dibuat oleh masyarkat di wilayah lainnya, tapi dodol yang terkenal adalah Kadodo Wera. Ada satu desa di kecamatan Wera yang orang-orangnya sangat ahli membuat Kadodo yaitu di desa Nunggi.
Pada masa lalu, pembuatan Kadodo
hanya dilakukan pada saat ada hajatan seperti perkawinan, khatam Al-qur’an,
khitanan dan lain-lain. Pembuatan Kadodo dilakukan secara gotong royong oleh
warga diiringi musik tradisional Bima seperti Biola dan Gambo, Rawa Mbojo serta
atraksi Gantaong. Sambil menonton dan menikmati musik dan permainan itu, para
pembuat Kadodo memaruk kelapa, mengumpulkan kayu bakar, menggali Rubu (semacam
tungku perapian yang digali terlebih dahulu untuk dimasukan kayu-kayu bakar).
Sambil berpantun dan bersyair para pembuat Kadodo mengaduk Kadodo dengan Kayu
Kosambi sepanjang satu meter yang memang telah disiapkan sebagai pengaduk
Kadodo.
Menurut Halimah (58 thn), salah
seorang pembuat Kadodo asal desa Nunggi bahan pembuatan Kadodo Wera untuk
sebuah perayaan dibutuhkan 10 kg tepung beras ketan, 50 batang gula merah, 30
butir kelapa, gula pasir, garam, dan bawang Goreng. Untuk membuat dodol yang
bermutu tinggi cukup sulit karena proses pembuatannya yang lama dan membutuhkan
keahlian. Dalam tahap pembuatannya, bahan-bahan dicampur bersama dalam Kuali
yang besar dan dimasak dengan api sedang. Dodol yang dimasak tidak boleh
dibiarkan tanpa pengawasan, karena jika dibiarkan begitu saja, maka dodol
tersebut akan hangus pada bagian bawahnya dan akan membentuk kerak.
Oleh sebab itu, dalam proses
pembuatannya campuran dodol harus diaduk terus menerus untuk mendapatkan hasil
yang baik. Waktu pemasakan dodol kurang lebih membutuhkan waktu 4 jam dan jika
kurang dari itu, dodol yang dimasak akan kurang enak untuk dimakan. Setelah 2
jam, pada umumnya campuran dodol tersebut akan berubah warnanya menjadi cokelat
pekat. Pada saat itu juga campuran dodol tersebut akan mendidih dan
mengeluarkan gelembung-gelembung udara.Untuk selanjutnya, dodol harus diaduk
agar gelembung-gelembung udara yang terbentuk tidak meluap keluar dari kuali
sampai saat dodol tersebut matang dan siap untuk diangkat. Yang terakhir, dodol
tersebut harus didinginkan dalam periuk yang besar. Untuk mendapatkan hasil
yang baik dan rasa yang sedap, dodol harus berwarna coklat tua, berkilat dan
pekat. Setelah itu, dodol tersebut bisa dipotong dan dimakan.
Selama ini pembuatan Kadodo Wera
masih bersifat tradisional terutama pada saat hajatan saja. Pemasarannya pun
nyaris tidak pernah dilakukan di luar kecamatan Wera. Perlu upaya pendekatan,
fasilitasi dan sentuhan pemberdayaan terhadap para pembuat Kadodo Wera agar
produk warisan leluhur ini mampu menerobos pasar. Seperti Dodol Garut dan dodol-dodol
lainnya di tanah air.
BUDIDAYA MUTIARA
Bima terletak pada gugusan kepulauan
sunda kecil yang sekarang kita sebut dengan Nusa Tenggara Barat. Posisinya
sangat penting dalam perspektif Nusantara. Tak heran jika Bima dalam sejarahnya
menjadi bagian daerah pelabuhan penting dalam merangkai keutuhan wilayah
Nusantara. Pada masa colonial, Belanda menjadikan Bima sebagai daerah transit
menuju belahan timur Indonesia baik itu dalam kepentingan penjajahannya maupun
dalam regulasi perdagangannya.
Letak Bima yang sangat strategis ini tidak lain adalah pemberdayaan potensi wilayah yang terkait dengan kelautan. Akibatnya, Bima menjadi daerah yang dikenal dunia luar.
Letak Bima yang sangat strategis ini tidak lain adalah pemberdayaan potensi wilayah yang terkait dengan kelautan. Akibatnya, Bima menjadi daerah yang dikenal dunia luar.
Salah satu potensi Bima yang sudah
dikenal luas adalah Mutiara. Usaha Budidaya Mutiara sudah berlangsung lama dan
berlangsung di beberapa wilayah kecamatan seperti di Lambu, Wera, Sanggar dan
Langgudu. Yang terkenal adalah PT. Bima Sakti Mutiara Di kecamatan Lambu. Tidak
tertutup kemungkinan kerang mutiara dijumpai di sejumlah wilayah pesisir di
Bima selain wilayah-wilayah kecamatan yang disebutkan di atas. Mutiara
merupakan komoditas unggulan perikanan budidaya yang perlu ditingkatkan
produksinya. Karena hampir seluruh produksinya ditujukan untuk diekspor keluar
negeri. Para pembeli mutiara di Jepang telah banyak yang mengetahui bahwa
mutiara tersebut berasal dari Indonesia terutama Bima, sehingga akan lebih baik
bila membeli secara langsung dari Indonesia. Memang pengembangan usaha budidaya
mutiara masih banyak mengalami hambatan baik yang bersifat teknis maupun non
teknis. Walaupun saat ini kondisi keamanan dapat dikatakan lebih kondusif,
tetapi masih sulit bagi perusahaan budidaya mutiara yang telah hancur untuk
bangkit kembali. Untuk membangkitkan kembali usaha budidaya mutiara sekaligus
menciptakan iklim usaha yang kondusif, perlu serangkaian langkah dan kebijakan
untuk betul-betul mendorong usaha budidaya mutiara ini. Sehingga dikemudian
hari melalui usaha ini akan dapat menyerap tenaga kerja dan sekaligus menjadi
sumber PAD daerah.
Mutiara adalah suatu benda keras
yang diproduksi di dalam jaringan lunak (khususnya mantel ) dari moluska hidup.
Sama seperti kulit moluska, mutiara terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk
kristal yang telah disimpan dalam lapisan-lapisan konsentris. Mutiara yang
ideal adalah yang berbentuk sempurna bulat dan halus, tetapi ada juga berbagai
macam bentuk lain. Mutiara alami berkualitas terbaik telah sangat dihargai
sebagai batu permata dan objek keindahan selama berabad-abad, dan oleh karena
itu, kata “mutiara” telah menjadi metafora untuk sesuatu yang sangat langka,
baik, mengagumkan, dan berharga.
Mutiara berharga terdapat di alam
liar, tapi dalam kuantitas yang sangat jarang. Mutiara budidaya atau mutiara
yang berasal dari tiram merupakan mayoritas dari mutiara-mutiara yang dijual di
pasaran. Mutiara laut dihargai lebih tinggi dari mutiara air tawar. Mutiara
palsu juga banyak dijual dengan harga murah, tetapi kualitasnya biasanya jelek
– dan secara umum, mutiara buatan dapat dengan mudah dibedakan dari mutiara asli.
Mutiara banyak dibudidayakan terutama untuk digunakan sebagai perhiasan , namun
di masa lalu mutiara juga digunakan sebagai hiasan pada pakaian-pakaian mewah.
Mutiara juga bisa dihancurkan dan digunakan dalam kosmetik, obat-obatan, atau
dalam formula cat.
MPA'A GANTAO
Dalam seni Tari Bima, semua jenis
tari rakyat, disebut “mpa’a ari mai ba asi” atau tari di luar pagar istana
(ASI). Hal ini berarti bahwa atraksi kesenian ini tumbuh dan berkembang di luar
lingkungan istana, yang lazim disebut dengan Tari Rakyat. Biarpun tari rakyat
tumbuh dan berkembang di luar istana, namun sultan melalui para seniman istana,
tetap mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan tarian rakyat, dengan
demikian mutu tari tetap terpelihara dan terpacu pada nilai dan norma agama dan
adat yang islami.
Mpa’a Gantao adalah salah satu
tarian rakyat yang telah tumbuh sejak zaman kesultanan Bima. Atraksi keseniaan
ini diperkirakan ada sejak masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin(
1648-1685).Atraksi kesenian ini cukup popular bagi masyarakat Bima, karena
hingga saat ini masih tetap eksis dan dipertunjukkan dalam berbagai acara dan
hajatan baik di lingkup Pemerintah Daerah maupun masyarakat. Biasanya Gantao
dipertunjukkan pada acara hajatan pernikahan maupun sunatan.
Atraksi ini tergolong masih tetap
eksis keberadaannya hingga saat ini. Meskipun hanya beberapa sanggar seni saja
yang tetap menekuninya. Persoalan mendasar yang dihadapi para seniman adalah
minimnya pembinaan dan bantuan peralatan serta kostum. Disamping itu, proses
regenerasinya sangat lamban. Peniup Sarone saja semakin langka, aplagi penabuh
gendang. Diperlukan pembinaan dan proses regenerasi untuk mengajak para pemuda
bergelut di seni budaya tradisional Mbojo dalam rangka upaya pelestariannya.
KETIKA PANEN GAROSO MBOJO
Antara bulan Pebruari hingga April
buah Garoso melimpah di kabupaten dan Kota Bima. Pada musim-musim seperti ini
para pedagang Garoso berjejer untuk menjual Garoso di sepanjang jalan dari Desa
Panda hingga memasuki kota Bima. Di pasar-pasar Bima pun bermunculan pedagang
Garoso.
Ina Amnah salah seorang penjual Garoso yang ditemui di pinggir jalan di pantai Oi Niu mengemukakan, bahwa dirinya sebenarnya penjual ikan dan sayuran. Namun ketika Musim Garoso tiba ia dan anak-anak serta keluarga beralih profesi untuk sementara waktu dengan menjual Garoso baik yang berasal dari kebunnya maupun yang didapat dari pemilik kebun lainnya di sekitar Gunung Panda dan Oi Niu. “ Alhamdulillah nak, di musim Garoso ini adalah sedikit rejeki untuk uang sekolah anak-anak.” Ujarnya sambil melayani para pembeli yang biasanya ramai mengunjungi pinggir-pinggir pantai teluk bima di sore hari.
Ina Amnah salah seorang penjual Garoso yang ditemui di pinggir jalan di pantai Oi Niu mengemukakan, bahwa dirinya sebenarnya penjual ikan dan sayuran. Namun ketika Musim Garoso tiba ia dan anak-anak serta keluarga beralih profesi untuk sementara waktu dengan menjual Garoso baik yang berasal dari kebunnya maupun yang didapat dari pemilik kebun lainnya di sekitar Gunung Panda dan Oi Niu. “ Alhamdulillah nak, di musim Garoso ini adalah sedikit rejeki untuk uang sekolah anak-anak.” Ujarnya sambil melayani para pembeli yang biasanya ramai mengunjungi pinggir-pinggir pantai teluk bima di sore hari.
Ketika ditanya berapa yang laku tiap
hari, sambil tesenyum Ina Amnah menjawab bahwa penghasilannya sehari dari
menjual Garoso bisa mencapai 100 ribu rupiah terutama ketika hari minggu dan
hari libur. Warga yang biasa berdatangan di tempat itu adalah warga Kabupaten
dan Kota Bima, Dompu bahkan tamu-tamu yang datang dari Mataram dan Jakarta.
Garoso adalah sejenis buah Srikaya
termasuk pohon buah-buahan kecil yang tumbuh di tanah berbatu, kering, dan
terkena cahaya matahari langsung. Tumbuhan yang asalnya dari Hindia Barat ini
akan berbuah setelah berumur 3-5 tahun. Srikaya sering ditanam di pekarangan,
dibudidayakan, atau tumbuh liar, dan bisa ditemukan sampai ketinggian 800 m
dpi.
Perdu atau pohon kecil ini mempunyal
tinggi 2-5 m, kulit pohon tipis berwarna keabu-abuan, getah kulitnya beracun.
Daun bertangkai, kaku, ietaknya berseling. Helaian daun bentuk lonjong sampai
jorong menyempit, ujung dan pangkai runcing, tepi rata, panjang 6-17 cm, lebar
2,5-7,5 cm, permukaan daun warnanya hijau, bagian bawah hijau kebiruan, sedikit
berambut atau gundul. Bunga 2-4 kuntum (berhadapan), keluar dan ujung tangkai
atau ketiak daun, warnanya hijau kuning. Buahnya buah semu, bentuk bola atau
kerucut, permukaan berbenjol-benjol, warnanya hijau berserbuk putih, penampang
5-10 cm, jika masak, anak buah akan memisahkan diri satu dengan lainnya.
Warnanya hijau kebiru-biruan. Daging buah berwarna putih, rasanya manis. Biji
masak berwarna hitam mengkilap.
Ina Amnah dan ratusan orang yang
berjualan di pinggir jalan di kota dan kabupaten Bima adalah bagian yang tidak
terpisahkan ketika Musim Garoso tiba. Mereka adalah pedagang musiman yang
memiliki profesi lain sebelum maupun setelah musim Garoso. Inilah romantika
Bima yang tetap menjadi icon setiap tahun antara bulan Pebruari hingga April.
Dasar goblog Judi pake Bawa2 "Syukur Alhamdulillah"..malu2in Umat Muslim aja Lu, TOLOL..
BalasHapus